I Gede Wenten lahir
sebagai anak nelayan dari Desa Pengastulan, Kabupaten Bali. Wenten menyebut dirinya sendiri anak desa,
tapi semangat yang menyala-nyala dalam sosoknya mampu menggerakkan Indonesia sebagai
bangsa yang mulai diperhitungkan di kancah internasional. Terutama dengan
penemuannya yang fenomenal di dunia membran.
Paten pertamanya
tentang klarifikasi bir di Denmark ini adalah karya yang pertama mengangkat namanya.
Penemuan itu membuat orang kagum sekaligus heran, karena sang penemu justru
orang dari Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk
beragama muslim dan bukan negara penghasil bir yang terkenal.
Awalnya Wenten
menempuh pendidikan di ITB, berbekal kepercayaan dan juga modal dari orangtua
temannya. “Saya tidak tahu apa itu ITB, sehebat apa kampus itu, jangan di
Bandung, mungkin di Bali saja, saya belum tentu bisa berkuliah,” kenang Wenten
saat berbicara mengenai jasa baik orangtua temannya yang kini telah meninggal.
Lulus ITB, Wenten kemudian melanjutkan studinya di Denmark Tecnology University, Kopenhagen. Setelah meraih gelar Master Bioteknologi pada tahun 1990 sekaligus menyelesaikan program Doktor Teknik Kimia pada 1995 di sana, dia berhasil menemukan cara baru filtrasi bir memakai selaput membran.
Kebersihan dan mutu
protein bir terjaga, limbahnya pun tidak lagi mencemari lingkungan. Kalau di
Indonesia tentu akan berpengaruh pada air, sawit, minyak goreng dan limbah.
Saringan membran sangatlah kecil, hal itulah yang membuat kita bisa meminum air
semisalnya dalam keadaan darurat dan cukup sehat walau tidak bisa dibandingkan
dengan air mineral yang khusus diproses untuk air minum kita sehari-hari.
Teknologi membran
yang dikembangkan Wenten banyak diaplikasi di kehidupan sehari-hari. Ia
menciptakan pompa kompak yang bisa menyaring air jadi bersih. Pompa ini pernah
dipakai saat bencana tsunami melanda Aceh pada 2004.
Anak bungsu dari
pasangan Made Sarta (almarhum) dan Ni Ketut Telaga menyuarakan begitu banyak
hal tentang Indonesia, khususnya untuk mereka para insinyur. “Negara Indonesia tidak boleh ketinggalan,
sekarang kita harus berjuang agar nanti tidak menangis berdarah-darah,”
begitulah Wenten menjelaskan apa yang perlu Indonesia lakukan dalam
‘perlombaan’ yang tentu tiap bangsa memiliki perbedaan sudut pandang dan sudut
tembak yang berbeda.
Informasi yang
gratis, kantor yang bisa dimana saja, itulah perbedaannya dengan pabrik dan
mesinnya yang tidak bisa begitu saja disulap. Oleh karena itu dibutuhkan
transformasi ide, yang mampu diwujudkan, bukan hanya sekedar ide, ide dan ide.
Workshop dan pabrik pun harus dibuat dan dibangun, walau dengan suka dan
dukanya.
Indonesia ia yakini
tidak kalah dengan negara Singapore dan Malaysia, walau secara scientific
dengan skala internasional masih kalah. Kreatifitas dan kerja keras secara
otot, bisa jadi kedua hal itulah yang membuat negara ini bisa maju, tergantung
kemana kita menyalurkannya.
Kelak, Wenten
menginginkan agar kita tidak hanya pintar berwacana. Apalagi sekedar wacana
ilmiah tanpa pelaksanaan. Intuisi bisa digunakan dengan baik apalagi bila kita memang
adalah doktor dari suatu bidang. Yang terpenting adalah usaha untuk
mewujudkannya, bukan sekedar pelaporan yang seakan-akan nyata.
“Kalau meyakini
sesuatu, menemukan sesuatu, bila pun kita perlu membayar untuk patennya, maka
lindungilah. Ya dengan cara membayar.”
tutur Wenten yang juga mempelajari hukum dan tahu betul apa yang akan
terjadi jika penemuan tidak dilindungi.
Mengenai apa yang
harus dikembangkan oleh para insinyur kita, yang pertama adalah kemampuan berbahasa
Inggris. Berinovasi dan berkarya adalah bagus, tapi tentu kita tidak ingin
hanya jago kandang, kita harus bisa membuktikan nilai penemuan kita di mata
internasional. Berterima kasihlah atas semua penghargaan yang diberikan, tapi
jangan lupa untuk minta diuji.
Yang kedua harus
dikembangkan adalah kepercayaan diri. Bagaimana bisa memperoleh hasil tanpa menyontek
dan berbuat hal-hal yang tidak kredibel. Jangan membiasakan diri untuk
mendapatkan sesuatu dengan cara yang lebih mudah, padahal cara yang sedikit
lebih susah lebih mengasah kemampuan kita.
Berlomba dengan
perusahaan besar dari negara-negara maju, kita tidak bisa berpacu begitu saja
dengan power yang tidak sama di sebuah jalur bebas hambatan. Tapi kita bisa
realistis dan mencari titik kuat kita ada dimana. Carilah pola pendekatan yang
sesuai dengan masyarakat Indonesia, dengan demikian kita dapat melaju perlahan
menuju apa yang kita cita-citakan. Mampu bersaing dengan bangsa lain, dalam
penemuan dan juga pelaksanaan idealisme yang bertanggung jawab.
Sekedar cita-cita?
Bangunlah cita-cita tinggi dengan keyakinan akan merealisasikan untuk memajukan
Indonesia, seperti I Gede Wenten, seorang anak desa, anak nelayan yang mampu
menorehkan namanya dan membuat Indonesia lebih dikenal.
Aurelia
Tiara.W
Diterbitkan di Inspirasi Insinyur Juni 2013