Tuesday, June 25, 2013

I Gede Wenten, Penemu Membran Bir, Dengan Idealisme Yang Tidak Sekedar Dicita-Citakan.



I Gede Wenten lahir sebagai anak nelayan dari Desa Pengastulan, Kabupaten Bali.  Wenten menyebut dirinya sendiri anak desa, tapi semangat yang menyala-nyala dalam sosoknya mampu menggerakkan Indonesia sebagai bangsa yang mulai diperhitungkan di kancah internasional. Terutama dengan penemuannya yang fenomenal di dunia membran.
 
Paten pertamanya tentang klarifikasi bir di Denmark ini adalah karya yang pertama mengangkat namanya. Penemuan itu membuat orang kagum sekaligus heran, karena sang penemu justru orang dari Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama muslim dan bukan negara penghasil bir yang terkenal.

Awalnya Wenten menempuh pendidikan di ITB, berbekal kepercayaan dan juga modal dari orangtua temannya. “Saya tidak tahu apa itu ITB, sehebat apa kampus itu, jangan di Bandung, mungkin di Bali saja, saya belum tentu bisa berkuliah,” kenang Wenten saat berbicara mengenai jasa baik orangtua temannya yang kini telah meninggal.

Lulus ITB, Wenten kemudian melanjutkan studinya di Denmark Tecnology University, Kopenhagen. Setelah meraih gelar Master Bioteknologi pada tahun 1990 sekaligus menyelesaikan program Doktor Teknik Kimia pada 1995 di sana, dia berhasil menemukan cara baru filtrasi bir memakai selaput membran.

Kebersihan dan mutu protein bir terjaga, limbahnya pun tidak lagi mencemari lingkungan. Kalau di Indonesia tentu akan berpengaruh pada air, sawit, minyak goreng dan limbah. Saringan membran sangatlah kecil, hal itulah yang membuat kita bisa meminum air semisalnya dalam keadaan darurat dan cukup sehat walau tidak bisa dibandingkan dengan air mineral yang khusus diproses untuk air minum kita sehari-hari.

Teknologi membran yang dikembangkan Wenten banyak diaplikasi di kehidupan sehari-hari. Ia menciptakan pompa kompak yang bisa menyaring air jadi bersih. Pompa ini pernah dipakai saat bencana tsunami melanda Aceh pada 2004. 

Anak bungsu dari pasangan Made Sarta (almarhum) dan Ni Ketut Telaga menyuarakan begitu banyak hal tentang Indonesia, khususnya untuk mereka para insinyur.  “Negara Indonesia tidak boleh ketinggalan, sekarang kita harus berjuang agar nanti tidak menangis berdarah-darah,” begitulah Wenten menjelaskan apa yang perlu Indonesia lakukan dalam ‘perlombaan’ yang tentu tiap bangsa memiliki perbedaan sudut pandang dan sudut tembak yang berbeda.

Informasi yang gratis, kantor yang bisa dimana saja, itulah perbedaannya dengan pabrik dan mesinnya yang tidak bisa begitu saja disulap. Oleh karena itu dibutuhkan transformasi ide, yang mampu diwujudkan, bukan hanya sekedar ide, ide dan ide. Workshop dan pabrik pun harus dibuat dan dibangun, walau dengan suka dan dukanya.

Indonesia ia yakini tidak kalah dengan negara Singapore dan Malaysia, walau secara scientific dengan skala internasional masih kalah. Kreatifitas dan kerja keras secara otot, bisa jadi kedua hal itulah yang membuat negara ini bisa maju, tergantung kemana kita menyalurkannya. 

Kelak, Wenten menginginkan agar kita tidak hanya pintar berwacana. Apalagi sekedar wacana ilmiah tanpa pelaksanaan. Intuisi bisa digunakan dengan baik apalagi bila kita memang adalah doktor dari suatu bidang. Yang terpenting adalah usaha untuk mewujudkannya, bukan sekedar pelaporan yang seakan-akan nyata. 

“Kalau meyakini sesuatu, menemukan sesuatu, bila pun kita perlu membayar untuk patennya, maka lindungilah. Ya dengan cara membayar.”  tutur Wenten yang juga mempelajari hukum dan tahu betul apa yang akan terjadi jika penemuan tidak dilindungi.  

Mengenai apa yang harus dikembangkan oleh para insinyur kita, yang pertama adalah kemampuan berbahasa Inggris. Berinovasi dan berkarya adalah bagus, tapi tentu kita tidak ingin hanya jago kandang, kita harus bisa membuktikan nilai penemuan kita di mata internasional. Berterima kasihlah atas semua penghargaan yang diberikan, tapi jangan lupa untuk minta diuji.

Yang kedua harus dikembangkan adalah kepercayaan diri. Bagaimana bisa memperoleh hasil tanpa menyontek dan berbuat hal-hal yang tidak kredibel. Jangan membiasakan diri untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang lebih mudah, padahal cara yang sedikit lebih susah lebih mengasah kemampuan kita. 

Berlomba dengan perusahaan besar dari negara-negara maju, kita tidak bisa berpacu begitu saja dengan power yang tidak sama di sebuah jalur bebas hambatan. Tapi kita bisa realistis dan mencari titik kuat kita ada dimana. Carilah pola pendekatan yang sesuai dengan masyarakat Indonesia, dengan demikian kita dapat melaju perlahan menuju apa yang kita cita-citakan. Mampu bersaing dengan bangsa lain, dalam penemuan dan juga pelaksanaan idealisme yang bertanggung jawab.

Sekedar cita-cita? Bangunlah cita-cita tinggi dengan keyakinan akan merealisasikan untuk memajukan Indonesia, seperti I Gede Wenten, seorang anak desa, anak nelayan yang mampu menorehkan namanya dan membuat Indonesia lebih dikenal.


Aurelia Tiara.W
Diterbitkan di Inspirasi Insinyur Juni 2013

Penggerak Dunia Perfilman Indonesia, Seorang Sarjana Tekhnik, Seorang Tyas Abiyoga-Moein


Seorang perempuan cantik yang sering wira wiri dunia perfilman, membuktikan kemampuannya sejak tahun 2002 secara serius menggarap film Layar Anak di salah satu televisi swasta di Indonesia, siapa yang menyangka dia adalah seorang sarjana lulusan teknik? Mari kita telusuri jejak kaki perjalanan hidup seorang Tyas Abiyoga-Moein.

Sedari kecil, Tyas memang sudah memiliki ketertarikan di bidang teknik. Dipilihlah jurusan Teknik dan Manajemen Industri dengan pemikiran ingin mempelajari ilmu yang juga berkaitan dengan manajemen. Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Indonesia, Tyas pun sempat bekerja sebagai pegawai magang di sebuah pabrik alat berat di Bekasi. Setelah lulus, perempuan kelahiran 20 Agustus ini bekerja di Foxboro Indonesia, sebuah perusahaan Amerika yang bergerak di bidang Control System, sebagai seorang Sales Engineer. 

Tyas juga sempat bekerja di perusahaan e-Commerce yang berbasis di Philippine, yaitu Global Sources, sebagai Production Assistant. Siapa yang menduga, bahwa di dalam diri Tyas rupanya mengalir darah seni yang berasal dari ibunya. Sang ibu rupanya sangat dekat dengan dunia film, hal ini yang membuat Tyas membulatkan tekad dan merasa sanggup untuk masuk ke dunia perfilman.

“Awalnya diajak seorang teman, salah seorang Direksi di Indika Entertainment. Selepas itu, melanjutkan jalan sendiri dengan teman yang sudah menjalankan Production House, yaitu PT. Vito Production.”, Tyas memang tidak bergurau, terjun ke dunia seni sepanjang karirnya sejak tahun 2002, ia berulang kali menjadi Script Writer dan Producer untuk film-film yang sukses di pasaran.

Sebagai Producer lepas, Tyas bergabung dengan perusahaan ibunya, PT. Bumi Prasidi dan mulai masuk ke produksi film layar lebar dengan film Nagabonar (jadi) 2. Selanjutnya dengan bendera PT. Vito Production bekerja sama dengan Indika Pictures memproduksi film Kambing Jantan. Kemudian kembali dengan PT. Bumi Prasidi dengan Alumni ITB memproduksi film Bahwa Cinta itu Ada.

Berkecimpung di dunia perfilman, Tyas melihatnya sebagai proses kreatif yang sangat menarik untuk dilewati. Mulai dari pengembangan konsep dan cerita sampai promo film, Tyas juga sangat menikmati bekerja dengan tim yang memiliki karakter dan ritme yang berbeda-beda, sehingga pengalaman yang ia miliki menjadi banyak.

Mengenai otak kanan dan kiri, perempuan yang tengah menggarap film Mertua ini merasa bahwa otak kiri yang dimilikinya sangat membantu saat melewati proses kreatif, khususnya untuk posisi sebagai seorang Producer. “Namun, otak kananlah yang mendorong kreatif yang bebas dan kadang tidak terbatas, sementara dalam proses sebuah produksi film khususnya di Indonesia dibutuhkan batasan-batasan dan perhitungan yang sangat ketat karena semuanya terkait dengan unsur manajemen dan ekonomi.”, begitu Tyas menjelaskan.

Pendapat Tyas mengenai teknologi dalam industri film, seperti proses produksi yang harus terus berkembang maupun proses paska produksi canggih yang dibutuhkan untuk menghasilkan film berkualitas sedikit banyak memang muncul dari pemikiran seorang sarjana lulusan Teknik.

Meningkatkan kekuatan otak kiri maupun kanan, Tyas memiliki beberapa tips yang mungkin bisa juga kita terapkan. Salah satunya adalah melatih gerakan tubuh dan keseimbangan dengan menari dan juga dengan mendengarkan musik. Bisa dilakukan dimana saja, di tempat kerja, di dalam mobil, atau cukup menggunakan gadget untuk menikmati lantunan musik yang juga bisa menyegarkan fikiran.

Tyas sendiri sebenarnya terlahir sebagai sosok yang ‘exact’, begitu dia mengkategorikan dirinya sendiri. Semua dilakukan dengan perhitungan, perencanan dan pemikiran yang panjang. Tapi mungkin karena dalam Teknik Industri ia mendapatkan ilmu manajemen juga jadi banyak sekali yang bisa diterapkan dalam bekerja terutama saat perencanaan seperti perencanaan jadwal, proses produksi, manajemen waktu dan lain-lain.

Keluarga dan orang terdekat memang sangat mendukung apapun pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan yang pernah mengenyam ilmu di Pusat Pendidikan Film dan Televisi ini. Malahan waktu lebih fleksibel untuk menikmati hidup dan menghabiskan saat berkualitas bersama keluarga yang dicintai.

Saat ini Tyas sibuk menyiapkan beberapa film, yang menurut target bisa tayang akhir tahun ini dan awal tahun depan. Mengenai proses pembuatannya sendiri, ia berpendapat bahwa manajemen manusia adalah hal yang paling penting, karena bidang ini betul-betul harus dijalani dengan kerja teamwork dengan berbagai skill dan karakter manusia yang berbeda-beda.

Agama, keluarga, dan pekerjaan, tiga hal yang terpenting untuk Tyas saat ini. Tentunya dunia perfilman Indonesia saat ini sudah memiliki penggerak yang penting untuk mendongkrak kualitas yang kita butuhkan di mata dunia internasional, yaitu seorang Tyas Abiyoga-Moein yang akan terus berkarya dan sukses!


Aurelia Tiara.W

Diterbitkan di Inspirasi Insinyur Juni 2013

Tuesday, June 4, 2013

Shahnaz Haque, Menjalani Hidup dengan Si Kanan dan Si Kiri


“Saya termasuk orang yang beruntung, bukan orang yang pintar,” ucapan ini keluar dari bibir seorang perempuan yang  bekerja menggunakan otak belahan kiri dan juga kanannya. Baiknya, kita simak dahulu perjalanan hidup Shahnaz Haque sebagaimana ia meluangkan waktu berbagi cerita tentang tapak batu kehidupan yang dijalaninya.

Shahnaz adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, anak pasangan Allen dan Mieke Haque. Istri dari drummer Gilang Ramadhan ini pernah berkuliah di Fakultas Teknik Sipil UI dan pada semester ketujuh mengambil jurusan Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Setelah lulus, Shahnaz pun sempat bekerja di bidang yang berkaitan dengan ilmu kuliah.

Bahkan misi yang diusung perusahaan tempatnya bekerja sangat sejalan dengan pilihannya, yaitu bagaimana membuat program penyelamatan laut yang Indonesia miliki. Sebagai negara maritim, dimana kita bisa hidup dan makmur dengan memanfaatkan kekayaan alam, rupanya program penyelamatan laut dan bahkan teknologi yang menggunakan kekuatan laut, sangatlah minim.

Shahnaz juga sempat bergabung dalam IATPI (Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia) dan beberapa organisasi yang bertujuan mengurangi limbah serta mengeliminasi polusi. Seperti ikan masuk ke dalam air, begitulah ia menggambarkan betapa familiarnya dia berada di lingkungan orang-orang berlatar belakang sama.

Bicara bahasa yang sama, memakai kacamata visi dan misi yang sama tentang bagaimana menyehatkan lingkungan Indonesia, hal semacam itu yang membuat Shahnaz selalu merindukan bangku kuliahnya untuk sekedar memperdalam ilmu. Tapi memang, jalan hidup orang tidak bisa diterka. Shahnaz sekarang lebih banyak berkecimpung di dunia hiburan.

Awalnya kebetulan, kecebur katanya. Para senior di kampusnya dahulu mendorong Shahnaz untuk mengikuti kontes None Jakarta dan Putri Indonesia. Hasilnya? Tentu prestasi yang membanggakan. Tidak berhenti disana, pengalaman pertamanya di layar kaca dalam Salah Asoehan juga kebetulan, karena sang kakak yang empunya Production House ingin meringankan budget.

Apapun muasalnya, sepertinya tidak ada satu hal yang dijalani Shahnaz setengah-setengah. Bekerja di radio dan juga di TV sebagai host, adik Marissa dan Soraya Haque ini menemukan kecintaannya sebagai seorang pewawancara. “Berbeda dengan berlenggak lenggok di atas catwalk, saya menemukan warna asli saya sebagai pewawancara. Mendapatkan jawaban dan juga ilmu dari orang lain. Disitulah saya pakai hati, disitulah saya yang sebenarnya tanpa perlu akting.” tuturnya dengan semangat.

Bicara hati tapi juga bicara ilmu. Tepat memang kalau dikatakan Shahnaz sendiri adalah pribadi dengan perpaduan kerja otak belahan kiri dan kanan yang nyaris sama imbangnya. Bekerja di dunia hiburan tetap dilakoninya, tapi pola berfikir yang taktis, struktur bicara serta cara memecahkan masalah, semuanya adalah kontribusi cara belajar saat kuliah di Fakultas Teknik.

Kebetulan lagi, sang suami adalah seniman sejati yang menggunakan belahan otak kanannya. Hidup Shahnaz pun diakuinya semakin lengkap, tentu karena melengkapi satu sama lain. Ia belajar menggunakan otak kanan dari suami dan bahkan dalam pekerjaannya, semua menjadi mulus karena keseimbangan tersebut.

“Banyak kehidupan saya bukan disebabkan keberhasilan kecerdasan otak tapi kecerdasan emosi. Allah menciptakan cara kerja otak yang luar biasa, dan bisa optimal jika dilatih dan diasah dengan baik.”, Shahnaz berkata lebih lanjut.  Bagaimana cara mengasah otak, tidak hanya satu tapi kedua belahan, kanan maupun kiri? 

Menurut Shahnaz, caranya adalah dengan bekerja, tetapi bekerja bukan sembarang bekerja. Bekerja harus dengan cinta. Maka passion pun akan hadir dan terlibat disana. Seseorang yang melakukan pekerjaan karena terpaksa itu juga tidak akan melatih kerja otak dengan baik. Multitasking juga salah satu kiat untuk mengaktifkan kedua belahan otak.

Enlighten, Educate, dan Empower. Ketiga hal itulah yang saat ini menjadi passion perempuan kelahiran Jakarta 1 September tersebut. “Bahkan sewaktu saya mengambil pekerjaan iklan pembersih toilet, bukan hanya perhitungan uang yang saya kejar. Tapi terselip salah satu tanggung jawab saya dalam edukasi masyarakat tentang kebersihan toilet.”

Shahnaz sebagai anak Teknik Lingkungan menganggap kebersihan toilet adalah budaya. Sedangkan sanitasi sendiri, kesediaan air bersih adalah hak setiap warga. Itulah alasan mengapa setiap ada pekerjaan ia selalu berusaha mengaitkannya dengan keilmuan yang dimilikinya dari bangku kuliah.

Sebagai cancer survivor, tidak ada satu detik pun dalam kehidupan yang tak penting buatnya. Berbuat baik dan menebar kebahagiaan pada siapa saja, semua kesibukan Shahnaz sebagai pekerja seni, isteri sekaligus ibu untuk ketiga putrinya berujung pada kedua hal tersebut.

Satu pesannya untuk siapa pun yang mencari kunci kesuksesan, kecerdasan emosi itulah yang menentukan. Termasuk cara kita menjaga cara pandang agar tetap positif sehingga pikiran tenang dan bahagia. Disitulah nyaris tidak ada hal lain yang kita butuhkan kecuali menjalani hidup yang indah adanya. Carpe Diem.


Written by Aurelia Tiara

Published in Inspirasi Insinyur Mei 2013